Cerpen :
Oleh : Rustian al ansori
TINCE
Malam semakin
larut.
Suara dengkur
laki – laki itu semakin nyaring.
” Ia memang
tampan, ” batinnya, kepada laki – laki yang hampir menginjak usia 50 tahun itu
yang sedang pulas tertidur.
Sudah 16 tahun
perkawinan, namun Tince masih belum yakin laki – laki yang sedang pulas tidur
itu mencintainya. Berjuta pertanyaan dalam batinnya, penuh keraguan terhadap
ketulusan cinta Ajew yang telah memberikannya tiga orang anak. Ketakutan akan
karma dari masa lalu ibunya juga menikah dengan ayahnya dalam status masih
suami perempuan lain.
”Apakah
peristiwa serupa juga akan menimpa diriku?” Tanya Tince kepada dirinya sendiri.
Perenungan
selalu dilakukan setiap malam saat suami dan anak – anaknya terlelap tidur. Ia
merasa wajahnya tidaklah cantik. Tidak setara dengan wajah suaminya yang
tampan. Tubuh Tince, agak bulat berisi serta gurat wajah yang keras seperti
kelaki – lakian.
” Suamiku
menikah dengan ku karena status sosial, karena bapakku pejabat, ” batin Tince
lagi.
Kecamuk itu
terus saja membebani batinnya. Ketakutan, suatu saat suaminya juga akan
dirampas wanita lain. Masa lalu suaminya pernah memiliki pacar, wanita
Jawa yang tinggi semampai dengan paras ayu serta rambut panjang terurai. Tince
paling tidak suka memelihara rambut
panjang terurai. Rambutnya yang pendek saja sering rontok. Berbagai upaya
dilakukan untuk mempercantik diri, termasuk menyuburkan rambut dan membeli
kosmetik mahal agar wajahnya bersih mengkilap. Hasilnya, kosmetik mahal itu
telah membuat wajahnya terbakar sehingga tampak kehitam - hitaman. Wajahnya
semakin tidak karuan.
”Apakah suamiku
sudah memiliki simpanan wanita lain.”
Pikiran buruk itu coba ditepi. Bila terus dibayangkan,
Tince semakin takut. Rasanya asib dirinya akan di madu semakin dekat.
Kembali ia mengenang masa disaat Ajew memutus menikah dengannya. Kebanggaan
yang luar biasa, karena mendapat suami yang tampan.
” Perbaiki
keturunan, ” ujarnya kepada teman – teman dekatnya dengan bangga.
Namun
kenyataannya, wajah anak – anaknya mirip dengannya. Sepertinya ia harus
menerima cobaan lagi, karena tidak sesuai dengan harapan dan doanya. Ia semakin
minder, bila harus bersama suaminya menghadiri berbagai resepsi. Rasa cemas
bila orang – orang akan mengejeknya, karena kondisi dirnya tidak sebanding dengan
suaminya yang tampan. Beberapa kali bila suaminya mengajak menghadiri resepsi,
selalu ditolaknya dengan berbagai alasan.
Tince menjadi
cepat tersinggung dan curiga.Tince sehari – harinya sebagai PNS. Cemas dan
kecurigaan yang luar biasa itu terbawa hingga ke tempat kerja. Ia selalu ingin
mengatur apa saja sesuai dengan hasratnya. Ia royal dengan teman satu kantor
tempatnya bekerja, tidak lain tujuannya agar mendapatkan orang – orang yang
bisa loyal dengan dirinya. Tabiat buruknya, sering mencampuri pekerjaan orang
lain, sedangkan tugasnya sendiri tidak pernah beres.
Tince sosok yang
sombong Kebanggaan berlebihan terhadap kedudukan jabatan yang tinggi suaminya,
serta ketampanan suaminya selalu menjadi bumbu setiap obrolan dengan teman
kerjanya. Kekuatan Tince ada pada ayahnya yang dulu pejabat..
Keangkuhan Tince
membuat banyak orang tidak menyukainya. Makian tak jarang ia terima, bahkan SMS
gelap. Ia tidak sungkan – sungkan menuduh orang yang dianggapnya sebagai
penyebarnya SMS gelap, dengan alasan klaripikasi. Orang yang dituduhnya sudah
terlanjur tersinggung dan marah. Maka ia akan mudah meminta maaf.
” Jangan pernah
memaafkan Tice, ia tidak ikhlas, dibelakang ia akan membatai kita lagi,” ujar
seorang temannya.
Merasa berkuasa,
karena menempati satu jabatan ia akan dengan seenaknya mengacam teman kerjanya
untuk dipecat. Tince semakin banyak musuh. Namun Tince sudah tertutup
pikirannya, ia menganggap dirinya benar. Sikap yang paling buruk dari Tince, ia
tega mengada – ada. Merekayasa suatu masalah. Fitnah yang dilontarkan, sudah
memakan korban. Ia senang dengan keberhasilan dari upaya jahat yang ia
dilakukan.
Ia tidak takut
dengan kondisi dilingkungannya, bahkan ia tidak merasa malu. Namun bila ia
ingat dengan suaminya, rasa malu itu muncul. Percaya dirinya hilang seketika.
” Suamimu itu
buta, mau dengan kamu, ” kata seorang teman yang pernah bertengkar dengan
Tince.
Tince marah
besar.
***
Pagi hari.
Saat suaminya
bersiap – siap menuju kantor, dan anak – anaknya akan ke sekolah. Tice bersikap
tidak biasanya. Ia memandang tajam suaminya yang sedang berada di depan
cermin. Bersisir. Kemudian menyemprotkan parfum ke pakaiannya.
” Wanita di luar
sana akan melihat ketampanan suamiku, ” sangka Tince.
Tince ke tempat
kerja setelah suami dan anak – anak meninggalkan rumah. Dalam kesendiriannya di
rumah, Tince kembali diselimut kecemasan.. Ayahnya dulu memiliki istri sirih.
” Apakah aku
juga akan dimadu,” Tince menumpuk
batinnya dengan banyak pertanyaan.
Tince akan
mengambil langkah pencegahan. Ia menempatkan mata – mata dengan membayar
seorang karyawan di tempat suaminya bekerja. Harapan Tince
mata – matanya ini dapat memantau segala gerak – gerik suami selama di kantor.
” Aku ada kenal
paranormal yang bisa menundukkan suamimu agar ia tidak ke wanita lain, ” tawar
teman di tempat kerjanya.
” Dosa !” jawab
Tince ketus.
Otak warasnya
masih jalan.
Ketakutan
terhadap suaminya akan memiliki istri sirih semakin menjadi – jadi.
” Jangan
berburuk sangka kepada suami, nanti bisa menjadi kenyataan, ” kata seorang
teman .
Tnce emosi.
” Aku tidak akan
pernah lagi berbicara dengan mereka, ” umpat Tince kesal.
Ayahnya yang menikahi beberapa perempuan, bahkan setelah
dinikahkanditinggalkan begitu. Membuat Tince cemas yang luar biasa, karena
peristiwa serupa akan terjadi pada dirinya. Pada suatu kesempatan Tince curhat
kepada ibunya.
” Dulu kau
bangga dengan suamimu yang tampan, sekarang jadi muncul kecemasan, ” katana
ibunya kepada Tince.
Ibunya ringan
saja menanggapi keluhan Tince.
” Kalau nasib
ibu dan kamu harus dimadu ya kita terima saja, bapaknya yang tidak tampan saja
banyak istrinya, ” ujar ibunya.
Tambah beban
pikiran Tince menjadi tidak karuan. Ibunya bukannya dapat menenangkan
pikirannya.
” Aku tidak mau
dimadu, ” teriak Tince.
***
Kembali malam ini Tince tidak bisa tidur.
Ia melihat lumat – lumat wajah
suaminya yang sedang mendengkur panjang.
Tince terkejut.
Suaminya terbangun, saat ia sedang
menantap wajah suaminya yang tertidur pulas.
” Belum tidur ?
” tanya suaminya seketika.
” Belum,” jawab
Tince.
” Tubuhku terasa tidak enak,
sepertinya gulaku naik,” kata suaminya yang sudah lama mengidap penyakit gula.
” Besok kita ke
rumah sakit, ” kata Tince.
Tince sangat mengetahui, bila kadar
gula dalam tubuh suaminya naik disebabkan beban pikiran.
” Apa yang dipikirkan bang?”
” Entahlah terlalu banyak, mungkin
jabatanku tidak lama lagi akan hilang karena bupati yang aku dukung kalah dalam
Pilkada, ” ungkap Ajew.
Tince turut cemas.
Suaminya akan
kehilangan jabatan, pupus sudah kebanggaan yang selama ini selalu didengung –
dengungkan kepada siapa saja. Otak licik Tince berputar untuk mencari akal,
bagaimana membangun opini kepada banyak orang bahwa suaminya bukan pendukung
bupati yang kalah.
” Banyak orang
sudah tahu suamimu pendukung bupati yang kalah, tunggu saatnya suamimu di
lengserkan, ” ujar teman yang membencinya.
Tince dibuat jadi
marah besar.
***
Beban pikiran
membuat gula darah suaminya meningkat, sehingga harus diopname di rumah sakit. Suaminya
terbaring di satu ruangan rawat inap di rumah sakit, namun pikirannya tidak
konsentrasi dengan penyakit suaminya tapi lebih cemas dengan jabatan suaminya
yang bakal hilang.
Tuhan
berkehendak lain, tepat satu minggu di rawat di rumah sakit suaminya pun
menghembuskan napas terakhir. Tince pun jadi janda dengan tiga orang anak.
Tince tidak
sangguh menerima musibah dan kenyataan hidup yang dihadapainya.
Senyum dan
tatapan Tince menjadi liar, bila melihat perempuan melintas di jalan depan
rumahnya benda apapun yang ada di dekatnya akan dilemparkan kepada arah perempuan
yang melewati jalan di depan rumahnya. Begitu pula bila melihat laki – laki yang mengenakan pakaian
rapi orang kantoran, Tince akan berteriak sekeras – kerasnya, ” abang! abang!
abang! ”.
” Perempuan itu sudah gila, ” kata
orang – orang yang melewati jalan dekat rumah Tince.
Komentar
Posting Komentar