CERPEN :
Oleh : Rustian al ansori
BONCEL
Sandiwara!
Telah berakhir.
Lakon yang dimainkan berakhir dengan sia – sia.
”Penjilat,” itu gelar yang
didapatnya setelah rekayasa yang dimainkannya. Namun tidak
dapat dibuktikan.
”Fitnah!” kata –
kata itu dilontarkan banyak orang.
Senjata makan
tuan.
Rekayasa itu
yang dibuatnya hanya untuk membuat senang atasannya. Dengan harapan dapat
perlindungan dari si Bos yang terkenal arogan.
Kenyataannya
sekarang, peluang – peluang dapat mecari keuntungan untuk menutupi segala
utangnya sirna. Benar – benar tidak ada lagi kesempatan.
” Segeralah dia
hengkang dari sini! ” pekik batin Boncel.
Boncel sesekali
mengusap – usap dadanya yang terasa nyeri. Sepertinya penyakit jantungnya,
setiap detik akan merengut nyawanya.
Mati!
Boncel belum
siap karena dosanya terlalu besar. Kesukaannya berjudi dahulu, saat ini membuat
keluarganya menderita. Sulit untuk membeli lauk – pauk buat makan. Apa lagi
untuk membeli obat penyakit jantungnya yang mahal. Gaji bulanannya sudah minim
karena dipotong untuk kredit.
Sesekali Bocel
menarik dalam napasnya. Terasa Sakit.
”Ah! Manusia itu
telah merusak sumber penghasilanku, ” batin Bocel ditujukan kepada atasannya.
Boncel tidak
dapat lagi memain – mainkan kewenangannya untuk dapat mencuri uang, untuk
menutupi biaya makan sehari – hari, biaya sekolah anaknya dan kredit rumah yang
dipersiapkan untuk masa pensiun nanti.
” Kita sudah
menolangnya, tapi sekarang ia membantai kita, ” curahan hati Boncel kepada dua
temannya Botak dan Gembukwati.
Botak dan Gembukwati
sama culasnya dengan Bocel, melontarkan fitnah ketika ada pemeriksa internal
perusahannya.
Tiga orang ini,
Bocel, Botak dan Gembukwati dikenal penjilat. Teman – teman menilai sebagai
manusia yang tidak memiliki integritas.
Gembukwati, satu
– satunya perempuan dari Tiga Penjilat ini yang selalu membangga – banggakan
ayahnya yang Jendral dan suaminya yang pejabat tinggi. Masuk kantor selalu
kesiangan. Jiwa iri dengkinya sangat kuat, ia tidak suka dengan orang – orang
yang terampil bekerja. Apa lagi yang dapat melahirkan hasil kerja dengan mutu
yang baik, karena Gembukwati tidak tahu apa - apa. Tidak lebih dari seorang
plagiator.
” Bekerja segitu
saja uangnya dapat jutaan, itu tidak adil!” ujar Gembukwati.
Gembukwati tidak
senang bila melihat temannya sekantor mendapat bonus maupun penghargaan.
Celotehnya berkisah penuh bangga dengan masa kejayaan orang tuanya dan suaminya
yang mendapat posisi jabatan yang cukup tinggi di pemerintahan.
Tanpa beban ia
memburuk – burukan rekan kerja yang dinilainnya tidak pas dihatinya.
Sesungguhnya
kisah masa lalu ayahnya, kembali mengingatkan kebencian karena memanfaatkan
kekuasaan untuk kepentingan pribadinya. Termasuk Gembukwati bisa bekerja karena kekuasaan
ayahnya, bukannya karena kualitasnya.
Gembukwati
sangat se ide dengan Boncel. Apa lagi dalam menyampaikan jurus – jurus
fitnahnya. Gembukwati memang suka mencampuri pekerjaan orang lain, sedangkan
pekerjaannya sendiri tidak pernah beres. Berbeda dengan teman satunya lagi,
Botak yang pendiam namun soal uang itu namor wahid kemahirannya dalam soal
sunat - menyunat. Laki – laki yang tunduk dengan istrinya ini, bersama dengan
Boncel dan Gembukwati sudah bersama – sama melancarkan fitnah untuk menjatuhkan
orang yang tidak disukainya guna mengambil muka dengan atasannya yang juga
Korup.
” Usaha kita
tidak berhasil, ” kata Botak kepada Gembukwati.
”Tapi, teman
kita Boncel sudah ditinggalkan Bos, ” sela Gembukwati.
Botak yang masih
tetap lengket dengan atasannya, sangat tahu dengan karakter atasannya yang
rakus kalau soal uang. Bosnya tidak suka dengan Boncel yang mencari keuntungan
sendiri, tidak pernah berbagi bila
mendapat keuntungan dari hasil sunat – menyunatnya.
Tidak jauh beda
dengan Botak yang juga gaji bulanannya habis untuk bayar utang, namun
permainnya lebih cantik yakni ”tidak makan sendiri.”
Sedangkan
Gembukwati sediri untuk soal uang berlebihan, karena suaminya pejabat tinggi
dengan sumber uang lebih banyak baik yang halal maupun dari korupsi.
”Mungkin ini
balasan dari yang Kuasa akibat perbuatan kita, ” kata Bocel.
”Ah! Untuk apa
dipikirkan,” tenang Gembukwati
”Aku benar –
benar menderita dari apa yang sudah kita lakukan, lihat saja satu per satu apa
yang kumiliki ludes hanya untuk memenuhi kebutuhan, barang kreditanku juga
ditarik agen,” papar Boncel.
Gembukwati dan
Botak hanya diam saja.
Boncel sudah
tidak tahan lagi menahan sakit didadanya. Penyakit
jantungnya sudah semakin parah. Biaya tidak punya. Air matanya mengalir dipipi
mengingat dosa yang sudah diperbuat, tidak ada lagi maaf. Boncel pun mati dalam
penderitaannya.
” Tunggu giliran
kita, azab itu akan datang, ” Botak mengingatkan Gembukwati temannya
besekongkol dalam pemufakatan jahat.
” Sudah ajalnya,
” kata Gembukwati mengomentari kematian Boncel.
Tiba saatnya
Botak mendapatkan cobaan. Istrinya diketahui kumat lagi dengan
tingkah yang lalu. Berselingkung dengan sopir pribadinya. Kali ini istri botak
sudah pergi bersama sopir itu.
” Ada benarnya
juga, ” batin Gembukwati menyikapi musibah yang dialami kedua rekannya.
Gembukwati sudah
menjadi sesat. Dalam setiap doanya ia selalu meminta kepada Sang Khalik agar
orang – orang yang tidak disukainya mendapatkan celaka. Namun sebaliknya doa
itu menghantam dirinya, anak laki – laki satu - satunya tewas karena penyakit
demam berdarah. Menyusul satu bulan kemudian suaminya, diserang penyakit yang
tidak jelas nama penyakitnya. Penyakit suaminya itu karena depresi akiban beban pikiran setelah
meninggal dunia anak laki – laki satu – satunya.
Gembukwati yang
selama ini kelihatan manja dengan atasannya yang arogan itu. Berupaya
menghindar, agar tidak ada kontak diantara keduanya. Gembukwati yang merasa
disenangi banyak orang, namun kenyataannya orang semakin muak melihat tingkah
lakumya. Apa lagi setelah suaminya meninggal dunia.
Perempuan yang
berperawakan pendek dan gempal ini, sudah kehilangan orang – orang yang bisa
dibanggakan. Gembukwati malu pada
dirinya sendiri. Terus dihantui dengan dosa yang diperbuat. Orang –
orang yang dulu difitnah tidak pernah memberi maaf.
Ia ingin lari
dari daerah ini. Ia ingin mengubur segala perbuatan bejatnya untuk kembali ke
kampung halaman orang tuanya.
Belum sempat
Gembukwati berkemas meninggalkan daerah ini, Gembukwati sudah tidak lagi mampu
menahan gejolak jiwanya. Ia mengalami gangguan jiwa, sehingga harus mendekam
disalah satu kamar di Rumah Sakit Jiwa.
Tidak ada
temannya yang membesuk.
Setiap hari teriakan Gembukwati terdengar dari
salah satu kamar di Rumah Sakit Jiwa itu. Selain itu perilaku Gembukwati selama
perawatan dengan kegemaran barunya yaitu menjilati terali besi yang ada di
kamar tempat Gembukwati dirawat dengan lidahnya.
Komentar
Posting Komentar