CERPEN : Oleh : Rustian al ansori
                                         FITNAH YANG MENDATANGKAN LAKNAT 
Fitnah, cara yang paling ampuh. 
Telah menjadi
  bagian hidup Ningsih. Pagi itu dengan tenang ia menunjukkan pesan singkat
  yang ada di telepon genggamnya. Tak lupa menyebutkan nama pelaku. Pada hal orang
  yang disangkakan belum tentu yang melakukan. Namun Ningsih sudah memastikan
  orang itu pelakunya.  
” Jangan
  pernah didengar, ia itu tukang fitnah,” kata seorang temannya, setelah
  Ningsih berlalu. 
Ningsih sudah
  memiliki kebulatan tekad akan mendatangi pelaku yang sudah dituduhnya. Dengan
  membawa suaminya, yang selalu dibangga – banggakan karena memiliki jabatan
  tinggi di pemerintahan. Tak lupa membawa beberapa orang pengawal. Ia tiba di
  rumah tetangga dari pelaku yang dituduh telah mengirim pesan singkat
  berisikan caci – maki itu. Tapi rombongan itu tidak berani langsung
  mendatangi rumah pelaku yang dituduh.  
Bapak Tua,
  tetangga pelaku yang dituduhkan yang didatangi Ningsih tak banyak komentar,
  setelah mendengar tuduhan itu. 
” Apa – apaan
  ini, kayaknya perempuan itu tidak waras, menanyakan kira – kira tahu siapa
  pelaku pengirim pesan itu, ” ujar Bapak Tua Bingung. 
Sama saja
  dengan sudah menuduh. Bapak Tua meminta tetangganya yang sudah dituduh itu,
  untuk melaporkan ke polisi. 
” Itu fitnah,
  ” tegas Bapak tua. 
” Biarkan
  saja, kita serahkan kepada yang Kuasa, ” kata Sabar, pelaku yang dituduh
  dengan tenang. 
Sabar sangat
  yakin, fitnah itu akan mendapat ganjaran setimpal dari Allah
  Subhanahuwatallah. Tak lama setelah peristiwa itu,
  Sabar mendapat kabar suami Ningsih di lengserkan dari jabatannya alias non
  job. Juga Sabar mendapat informasi dari sumber yang dapat dipercaya, suami
  Ningsih waktu mendapatkan jabatan itu dengan membayar ratusan juta rupiah. 
” Ia tidak
  pernah sadar atas kesalahan yang sudah dilakukan dengan menyebar fitnah,
  sudah dimaki – dimaki yang didengar banyak orang tetap saja tidak ada rasa
  malu, semoga ia sadar dan segera bertobat,” Sabar menanggapi desakan salah
  seorang temannya, Azam. 
” Ningsih
  telalu sombong hidupnya, sulit kita mengharapkan ia bertobat, ia tidak
  menyadari musuhnya banyak, musuh – musuhnya itulah yang diduga mengirimkan
  pesan singkat itu, kok kamu yang menjadi sasaran tuduhan, ” kata Azam dengan
  nada meninggi. 
” Biarkan
  saja dia berbuat seperti itu, tanggungjawabnya kepada Tuhan, ” Sabar tampak
  tenang. 
Sabar
  menegaskan ia tidak melakukan dan ia tidak pernah melakukan hal – hal seperti
  itu. Sabar sangat tahu bagaimana Ningsih dalam kiprahnya sehingga dapat
  bekerja dalam posisi seperti sekarang ini, tidak lain karena peran orang
  tuanya waktu itu masih sebagai pejabat yang berkuasa. 
” Ia telah
  menghina mu, Sabar,” Azam mulai kesal. 
“ Hinaan itu
  tidak ada pengaruh apa – apa bagi ku, terus saja ia menghina itu sama saja ia
  sedang menghina dirinya sendiri, ”  
“ Ini sudah
  keterlaluan. “ 
“ Ia berbeda
  dengan kita, apa yang dilakukan itu mendatang kebahagian, sudah lah Zam
  biarkan saja.” 
“ Sabar, apa
  yang dilakukan kepada dirimu harus di balas setimpal agar dapat diberikan
  pelajaran kepada manusia yang satu ini, “ harap Azam. 
Sabar menolak
  permintaan sahabatnya itu.  
” Zam, orang
  sabar itu disayang Tuhan, Insya Allah semakin difitnah itu doa buat kita, ”
  kata Sabar. 
” Kesabaranku
  belum sampai kesitu, yang memfitnah harus diberi pelajaran. ” 
” Kamu kan
  tahu, bagaimana Ningsih itu sikapnya sangat penuh dengan iri dengki, ia tak
  ingin melihat orang lebih terampil dari dia, lebih pintar dari dia, semuanya
  harus dalam kekuasaannya, Zam.” 
” Kamu tahu
  sendirikan Bar, ia menarik simpati teman - teman dengan materi, si Ani saja
  sekarang ini mengikuti apa saja yang ia mau sehingga Ani saat ini menjadi
  pembelanya habis – habisan, seperti jiwa raganya untuk Ningsih, ” 
” Biarkan
  saja, saya yakin masih banyak orang baik sehingga tidak mudah teracuni dari
  keinginan yang tidak benar dari Ningsih, ” optimis Sabar. 
” Kasihan
  suaminya, ” timpal Azam. 
Sabar menilai
  suaminya sangat lemah menghadapi kelakuan istrinya. Akibatnya setiap ucapan
  Ningsih, selalu diikutinya. Ketakutan suaminya yang luar biasa terhadap sikap
  keras Istrinya. Seharusnya setelah menuduh pengirim pesan singkap gelap itu,
  suami Ningsih saat bertemu Sabar mengklarifikasi. Namun saat bertemu tidak
  bicara apa – apa, seperti tidak pernah terjadi apa – apa.  
” Memang Aneh
  Zam.” 
” Mengapa
  kamu yang tidak klarifikasi ?” 
” Untuk apa,
  ia kan hanya menyampaikan ke tetanggaku, kalau ia berani ya ia langsung
  datang ke rumahku atau telepon.” 
 ”
  Sabar, Sabar...” 
” Aku banyak
  terima SMS yang isinya penghinaan, caci – maki, tapi kubiarkan saja untuk apa
  dibalas dan aku tidak pernah berkeinginan mencari tahu siapa pelakunya, ”
  tandas Sabar. 
” Apa isi SMS
  yang kamu terima. ”\ 
” Tidak perlu
  tahu, biar aku yang tahu.” 
” Nomor
  telepon pengirimnya?” 
” Sudahlah,
  untuk apa dicari tahu biarkan saja, kita doakan saja agar orang yang membuat
  SMS itu tidak lagi berbuat kekeliruan yang sama.” 
” Sekarang
  masih kirim SMS.” 
”Alhamdulillah,
  tidak lagi.” 
Azam yang
  emosional meledak – meledak bila mengetahui temannya itu di fitnah. Bahkan ia
  bersedia jadi saksi bila Sabar berkeinginan melaporkan ke polisi. Kadang
  terdorong keinginan Azam mengirimkan SMS gelap kepada Ningsih, sebagai wujud
  dari rasa solidaritas kepada teman. Namun Azam khawatir bila itu dilakukan,
  Ningsih akan kembali menuduh Sabar pelakunya. 
” Mengapa
  kamu yang selalu menjadi sasaran tuduhan pelakunya, Bar, ” tanya Azam heran. 
” Entah
  lah..” 
” Ia tidak
  bisa seperti kamu, kehebatan kamu dalam bekerja di kantor sudah diakui banyak
  orang, jauh dari kemampuan Ningsih yang semua orang tahu kerjanya hanya
  menjadi tukang jiplak, miskin ide.” 
” Tak boleh
  begitu Zam, itu namanya buruk sangka.” 
” Aku bicara
  berdasarkan fakta, kenyataan waktu dia bersaksi saat ada tim pemeriksa ia
  hanya menjelek – jelekkan kamu, prestasi yang kamu capai hingga ke tingkat
  Nasional tidak selepel dengan Ningsih.” 
” Biarkan
  saja.” 
” Itu
  menunjukkan ia tak mengerti apa – apa, bahwa prestasi itu dicapai dengan
  perjuangan bukannya KKN, kayaknya dia  selalu mengandalkan orang – orang
  yang dianggap bisa menjadi bekingnya.” 
” Zam, tidak
  baik terus berprasangka buruk.” 
” Bar, saya
  ini bicara apa adanya.” 
“ Fitnah itu
  tidak terus menjadi fitnah, yakinlah kalau ia diibaratkan peluru kendali
  kadang ia akan berbalik ke arah penembaknya.” 
“ Maksudmu akan
  kena Ningsing sediri?” 
“ Insya
  Allah, pelurunya akan berdampak baik kepada diri yang memfitnah.” 
Pikiran
  positif Sabar selalu mementahkan keinginan balas dendam Azam. Keinginan yang
  kuat untuk membela temannya itu dengan membalas kelakuan Ningsih dibuat
  menjadi surut. 
Azam ingat,
  salah seorang temannya yang pernah mengirim SMS gelap kepada Ningsih. Kiriman
  SMS itu dibalas juga dengan menuding pengirimnya Sabar. Teman yang mengirim
  SMS itu, meladeni balasan Ningsih seakan – akan yang mengirim SMS adalah Sabar.
  Mengetahui apa yang dilakukan temannya itu, Sabar tak ada reaksi. 
“ Kasihan
  teman itu, ia ikut memfitnah,” bisik Sabar. 
Teman yang
  mengirim SMS atas nama Sabar itu juga kini mendapatkan musibah tak jauh
  berbeda cobaan yang diterima Ningsih.  
” Jangan –
  jangan Dindra mendapat sanksi berat itu karena ia telah mengatasnama kamu
  megirim SMS gelap itu kepada Ningsih, ” Azam ingin tahu. 
” Sudah lah,
  semuanya sudah terjadi, jangan pakai prediksi – prediksi, analisa segala, itu
  rahasia Allah, ” tandas Sabar. 
Sabar memilih
  mengalah menghadapi tekanan yang diterimanya. Ia serahkan semuanya kepada
  takdir Allah. Ia sudah berbuat maksimal, berkarya dan membuat senang banyak
  orang, itulah yang selalu menjadi keinginannya. 
Pernah
  sebagai satu tim kerja dengan Ningsih, Sabar sangat tahu dengan prilakunya.
  Setelah membuat orang tidak nyaman karena sikapnya, Ningsih akan mudah minta
  maaf.  Tapi permintaan maaf itu disampaikan dihadapan banyak orang, agar
  dapat menjadi saksi. Setelah itu ia tidak sungkan – sungkan melakukan
  tindakan serupa pada kesempatan berikutnya. 
” Ia tidak
  ikhlas meminta maaf, ” kata Sabar dingin. 
” Untuk apa
  diberikan maaf orang seperti itu, ” ketus Azam. 
” Yang
  penting sekarang, bagaimana kita. Anak – anak
  dan istri kita. Terutama anak – anak, jangan sampai kita manjakan dengan
  materi dan dilindungi dengan jabatan kita, agar mereka memiliki integritas,
  agar mereka bisa mengatakan inilah saya, bukan inilah bapak saya, ” papar
  Sabar. 
” Kau
  menyindir Ningsih, Bar?” 
” Kalau
  menyindir ada orangnya disini.” 
”Insya Allah
  Bar, anak – anak kita memiliki mental yang baik, baik bagi agamanya, bangsa
  dan negaranya. ” 
” Aamiin..” 
* * * 
Ningsih masih
  gigih dengan tuduhannya bahwa yang mengirim pesan singkat, yang telah mencaci
  – makinya adalah, perbuatan Sabar. Sabar tak memperdulikannya.  
” Kalau ia
  datang kemari meminta maaf ? ” tanya Azam tiba – tiba. 
Sabar menatap
  tajam Azam. 
” Ia tidak
  Iklas dengan maafnya,” jawab Sabar.  
Azam melihat
  kekecewaan di wajah Sabar. Azam tidak ingin meneruskan. Kelakuan Ningsih
  benar – benar sudah keterlaluan, Kesabaran memang ada batasnya. 
” Dari pada
  kita bicara itu terus, sebaiknya kita mempersiapkan keluarga kita agar selalu
  kita berikan rizki yang halal, sehingga memiliki moral yang baik,” ceramah
  Sabar. 
Azam,
  mengangguk – anggukan kepala. 
Batas
  kesabaran Sabar entah sampai kapan. Kalau ia
  ingin membalas kezoliman yang dibuat Ningsih dapat ia lakukan. Tapi sampai
  saat ini tidak ia lakukan. 
Sabar tetap sabar, sikapnya sesuai dengan nama yang diberikan orang tuanya.  
” Nama itu
  doa Zam, makanya aku seperti ini,” timpal Sabar menanggapi keinginan Azam
  agar Ningsih mendapat ganjaran setimpal dengan perbuatannya. 
 Beberapa saat kemudian Azam mengambil Hand Phone yang ada disakunya
  berdering. Ia bicara tak lama kepada yang menelpon. 
” Aku barusan
  dapat telepon dari Kadir, tetangga Ningsih bahwa Ningsih sedang ribut dengan
  tetangganya karena masalah tanah,” cetus Azam. 
Sabar diam
  saja. 
” Kamu kok
  kelihatan sedih? ” sindir Azam. 
” Jangan
  begitu Zam, kan orang lagi dapat masalah tak boleh jadi bahan ejekan,” ujar
  Sabar datar. 
Permasalahan
  terus mendera Ningsih. Kecurigaannya kepada orang yang tidak disukainya
  semakin menjadi – jadi. Tetangga yang membangun rumah di lahan kosong didekat
  rumahnya tidak ia setujui. Ningsih mempengaruhi suaminya agar mendukung
  keinginan dirinya menguasai lahan itu. Tapi upayanya tidak berhasil. Setelah
  ribut masalah tanah yang sudah dibangun rumah itu, tetangganya jatuh sakit.
  Giliran Ningsih yang dituduh  telah menyantet tetangganya itu. 
Tudingan itu
  beralasan, karena adik – adik ipar Ningsih bila ada permasalahan dengan
  tetangganya itu selalu melontarkan ancaman, ”mau main kasar atau halus.”
  Wajar saja kecurigaan itu semakin menguat. 
” Sudah dapat
  kabar Ningsih dituduh tetangganya nyantet? ” Tanya Azam. 
Sabar kembali
  tanpa respon. 
” Kasihan
  dengan orang yang telah memfitnahmu ? ” 
” Mudah –
  mudahan ia segera menghentikan fitnahnya, sudah sering ia mendapat
  peringatan, ” kata Sabar tenang. 
” Segitu
  saja? ” 
” Mau bilang
  apa lagi? ” 
” Sabar yang
  benar – benar sabar,” cetus Azam sambil berlalu. 
*** 
Pada Minggu
  pagi, Sabar ditemani koran terbitan minggu. Berita besar di halaman muka
  surat kabar itu mengabarkan, korban pembunuhan yang dilakukan tetangganya
  sendiri. Korban yang bernama Andri itu, adalah suami dari Ningsih. Bepangkal
  dari rebutan lahan. 
”Inallillahi....,”
  komat – kamit doa disampaikan Sabar pelan. 
Sabar,
  mendoakan agar Ningsih dapat menghentikan fitnahnya  semakin sadar
  terhadap kekeliruannya. 
” Semoga ia
  bertobat,” batin Sabar. 
 | |||
Komentar
Posting Komentar